Mengayun Martil , Demi Anaknya Bisa sekolah

Memahami Dan Menghormati Pihak Lain

Rasna (43) warga Sungai ApokDesa Binusan Kabupaten Nunukan yang terpaksa mengangkat martil untuk memecah batu sebagai profesinya selama 7 tahun terakhir. Eks TKI asal Bau Bau Sulawesi Tenggara ini gigih berjuang demi 8 anaknya bisa bersekolah untuk menggapai cita cita
Teriknya sinar matahari siang tak di hiraukan Ratna , Keringat yang terus mengalir tak menghentikan tanganya untuk mengayun martil 10 Kg ke bagian batu yang coba ia pecahkan.

Hari ini sepertinya nasib kurang berpihak kepada Ratna, Sudah hampir pukul 12.00 ayunan martilnya belum juga bisa mengumpulkan setengah kubik batu. Padahal untuk memecah batu besar hingga menjadi ukuran sekepala manusia dewasa, Rusna hanya di beri upah Rp. 25.000 per Kubik.

"kalau batu putih keras, bisa 3 hari baru bisa 1 kubik" Ujar Ratna.

Profesi memecah batu bagi seorang perempuan memang agak jarang. Namun tuntutan hidup memaksa eks TKI dari Malaysia tersebut menekuni profesi yang tidak biasa tersebut selama 7 tahun terakir.

Sejak dia bersama 8 anaknya terdampar di Nunuan, Mengayun martil sudah menjadi ritme hidupnya.

Beratnya beben hidup seakan tak memberi pilihan kepada Ratna untuk memilih pekerjaan lain.

" Mau sebetulnya berjualan, tapi modalnya darimana? Kalau pekerjaan memecah batu tidak perlu modal, Modal martil, ini pun masih ngutang' ucapnya.

Untuk 2 buah martil 10 kg yang dimilikinya, Ratna masih berutang Rp. 230.000 kepada juragan yang memiliki lahan batu di Sungai Apuk Desa Binusan tersebut. utang tersebut akan di bayar semampunya dengan menyisikan penghailanya.

Ratna baru meghetikan ayunan ketika azan Zuhur sayup sayup terdengar. Setelah ber istirahat sejenak dengan minum air putih, bukanya pulang tapi Ratna pergi ke lereng bukit untuk memetik daun singkong dan mencabut ubi liar yang tumbu di sekitar lereng gunung batu tempatnya bekerja.

Kerasnya batu yang dia pecahkan 2 hari terakhir membuat upanya menipis. Persedian berasnya anya cukp untuk makan siang ari ini. Itu artinya anak anaknya harus terpaksa menyantap ubi rebus dan air putih untuk makan malam.

" Kalau sehari cuma dapat Rp. 15.000 atau Rp.20.000, Terpaksa anak anak sarapan ubi dan air putih. Siang baru makan nasi. Malam terpaksa makan ubi lagi. sempat anak protes, kenapa hidup kita begini ? " Ujarnya

Untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, kadang Ratna menerima pekerjaan memcuci baju atau mencuci piring milik tetangganya.

Sulitnya hidup membuat beberapa anak Ratna berinisiatif memantu meringankan beratnya beban hidup perempuan dari Kota Bau Bau Sulawesi Tenggara Tersebut.

Anak nomer 2 yang duduk di bangku SMK terpaks mencari kerja serabutan dengan menjadi kuli angkat kayu dengan upah Rp. 10.000 hingga Rp.15.000 usai sekolah.

Sementara anaknya yang duduk di bangku sekolah dasar sering pergi memancing di sungai atau pantai untuk mencari tambahan untuk tambahan lauk makan. yang lain menemaninya mengayun martil memecah batu.

" Upah anak yang SMK bisa buat beli peralatan sekolah, kalu yang memancing dapat ikan bisa buat lauk". kata Ratna

Minimalnya penghasilan sebagai pemecah batu juga membuat Ratna tidak memeiliki pilihan untuk memilih tempat tinggal. Dia masih bersyukur ada tetangganya yang baik hati dengan memberikan tumpangan untuk dirinya dan 8 anaknya berteduh di sebuah gubuk berukuran 4x6 eter.

Beberapa bagian dinding rumah dari kayu sudah mulai rapuh, atap dari seng juga sudah mulai menetes karena bocor ketika turun hujan.

Beratnya hidup yang harus dipikul Ratna membuat anak perempuanya nomer 1 lebih memilih hidup di negara Malysia bersama bapaknya.

"Kalau rumah di pinjami,tidak bayar.Hanya listrik yang bayar sama yang punya rumah.' kata Ratna.

Selama hampir 11 tahun menjadi warga Nunukan dengan bukti KTP Nunukan, Tak sekalipun Ratna menerima bantuan dari pemerintah. Baik itu melalui santunan maupun melalui bantuan BPJS sebagai orang miskin.

Biyaya kesehatan bagi anak anak menurut dia, sangat penting jika suatu saat di butuhkan mengingat untuk makan saja mereka masih kekurangan.

Satu satunya orang yang sering memberi bantuan sembako adalah mantan komandan Distrik Militer Nunukan.

" Sudah hampir setahun beliau pindah. Sejak saat itu tidak ada lagi bantuan beras," ucap Ratna

Paitnya hidup sera beratnya beban kerja tak membuat Ratna mengeluh. Menurut dia, semua itu kan hilang dengan sendirinya jika ia melihat anak anaknya menemaninya bekerja ata anak anaknya memahami kesulitan hidup yang ia alami.

Baginya kemiskinan tak menjadi persoalan selama dia bisa mengasuh anak anaknya. Hidupnya hanya dia dedikasikan untuk anak anaknya agar bisa bersekolah. Sesulit apapun hidup, anak anaknya harus bersekolah.

"Biarlah hidup susah, saya anya ingin melihat mereka mencapai cita cita mereka. ada yang bercita cita jadi polisi, ada yang bercita cita jadi dokter dan ada juga yang bercita cita jadi tentara " ujarnya.

Ratna mengaku akan tetap mengayunkan martilnya entah hinga kapan. namun yang pasti ke 8 anaknya harus berasil mencapai cita cita mereka.




Sumber : Kompas.com



Comments